Empat jenis hubungan-hubungan bisnis


1.    Keagenan atau Distributor

Keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum dimana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/pihak principal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain.
Keagenan adalah hubungan hukum antara pemegang merk (principal) dan suatu perusahaan dalam penunjukan untuk melakukanperakitan/pembuatan/manufaktur serta penjualan / distribusi barang modal atau produk industri tertentu.
Principal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang agen, sepanjang hal tersebut dilakukan dalam hal batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya, apabila seorang agen ternyata bertindak melampaui batas wewenang-wewenang , maka agen tersebut yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang di perbuatannya.
Distributor adalah perantara yang menyalurkan produk dari pabrikan ke pengecer, produk tersebut dikirimkan kesuatu distributor, distributor tersebut kemudian menjual produk tersebut ke pengecer atau pelanggan. Dalam hubungan bisnis keagenan distributor adalah berbeda. Namun dalam praktik bisnis sehari-hari keduanya biasa digabungkan.

a.       Probelematika Kontrak Keagenan
·         Hukum keagenan di Indonesia memberi kebebasan antara principal dan agen untuk menjalin hubungan hukum melalui penunjukan (sepihak dari principal) atau perjanjian (tunduk kepada ketentuan mengenai perikatan dari Hukum Perdata), tentu keduanya mempunyai implikasi hukum yang berbeda
·         Dilihat dari wajib daftar perusahaannya, maka hubungan hukum keagenan, apakah “perjanjian” ataukan “pendaftaran”? sebagai penentu legalitas hubungan keagenan? Kalau begitu pendaftaran merupakan norma hukum yang bersifat imperatif, yang tidak dapat dikesampingkan oleh para pelaku bisnis keagenan, sementara apabila hubungan penentu hubungan keagenan perjanjian, maka pendaftaran hanya merupakan complementary (pelengkap) yang dapat dikesampingkan
·         Berbagai persyaratan yang diminta sehubungan permohonan pendaftaran tersebut, tidak hanya sekadar “tanda” menyangkut status dan kedudukan keagenan, melainkan lebih menyerupai “izin”
·         Dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 428/M/SK/12/10987 Tentang Agen Tunggal Pemegang Merek, bila dicermati, untuk beberapa hal menimbulkan kontradiksi bahkan mengesankan terjadinya campur tangan pemerintah terhadap suatu transaksi perdata
·         Mengenai hak prioritas untuk kepemilikan saham dari principal untuk mendirikan perusahaan manufaktur dari barang yang diagenkan tersebut, bagaimana seandainya track record dan kinerja yang buruk dari agen tersebut buruk? Rasanya mustahil principal menggandengnya.

b.    Sengketa-sengketa Keagenan
·         Perselisihan biasanya disebabkan terutama menyangkut tata cara pengakhiran (siapakah yang dimaksud dengan ‘[ihak’; versi principal, pihak adalah hanya agen saja, sementara versi agen, pihak adalah baik principal maupun agen)
·         Standar atau ukuran untuk menilai kegiatan yang tidak memuaskan dari pihak agen
·         Penunjukkan agen lain sebelum ada penyelesaian tuntas
·         Lemahnya sistem pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak keagenan;
·         Masih ada anggapan baha agen hanyal sebatas working relationship, bukan sebagai partnership dari principal yang kemudian berujung pada habis manis sepah dibuang, setelah melakukan berbagai upaya untuk membangun channel of distribution, promosi, pemasaran, dan lain-lainnya.

c.    Pengakhiran keagenan
Hubungan keagenan umumnya berakhir pada saat meninggalnya prinsipal. Prinsipal umumnya juga dapat mengakhiri keagenan dengan memberikan pemberitahuan kepada agen, kecuali apabila hubungannya diatur berdasarkan perjanjian tertentu dimana ketentuan-ketentuan kontrak harus diperhatikan. Dalam hal inipun, pengadilan tidak dapat memerintahkan pelaksanaan tindakan tertentu dari perjanjian, yang mana kemudian keagenan dapat diakhiri dengan memperhatikan hak agen untuk menuntut ganti rugi karena alasan cidera janji.

d.    Keagenan terselubung
Berdasarkan hukum keagenan, ada kategori khusus yang dikenal sebagai keagenan terselubung. Pada intinya, apabila seorang agen mengadakan perjanjian dengan maksud melakukannya atas nama prinsipalnya, sepanjang ia bertindak dalam lingkup kewenangannya, maka menurut aturan umum prinsipal dapat menuntut dan dituntut berdasarkan perjanjian meskipun keberadaan prinsipal (dan bukan sekedar identitasnya) tidak diketahui oleh pihak ketiga - lihat perkara Siu Yin Kwan vs Eastern Insurance Co [1994] 2 WLR 370. Oleh karena pengesahan tindakan hanya mungkin dilakukan apabila seorang agen dengan sengaja bertindak untuk prinsipal, maka pengesahan tindakan tidak akan terjadi dalam kasus yang melibatkan keagenan terselubung.
Doktrin tentang prinsipal yang terselubung banyak ditentang karena doktrin ini memperbolehkan seseorang yang bukan pihak dari perjanjian awal, untuk mengambil semua manfaat dari perjanjian tersebut terhadap pihak ketiga yang tidak menyadari keberadaan prinsipal yang terselubung. Dikatakan bahwa doktrin ini bertentangan dengan prinsip hukum perjanjian yang telah diterima dengan baik, khususnya, doktrin privity. Akan tetapi, sepanjang doktrin tentang prinsipal yang terselubung sudah ada sebelum perkembangan aturan ketat tentang kekhususan/privity perjanjian, maka jelaslah bahwa kedua konsep ini dapat hadir bersama-sama.
Tidak seperti halnya dalam kasus-kasus keagenan yang terbuka dimana umumnya perjanjian adalah hanya antara prinsipal dan pihak ketiga, dalam kasus-kasus keagenan terselubung, perjanjian awal adalah perjanjian yang dibuat antara pihak ketiga dan agen dalam kapasitas pribadinya. Oleh karena pihak ketiga yakin bahwa ia berhubungan dengan agen, dan agen tidak mengadakan perjanjian dalam kapasitas sebagai perwakilan, maka agen secara jelas mengemban tanggung jawab pribadi berdasarkan perjanjian. Dengan demikian, agen dapat menuntut dan dituntut berdasarkan perjanjian.
Akan tetapi, karena agen sebenarnya bermaksud bertindak atas nama prinsipal, prinsipal berhak untuk terlibat dalam perjanjian yang diadakan apabila prinsipal ingin melakukannya, dan umumnya hak agen untuk menuntut harus beralih kepada prinsipal. Oleh karenanya, prinsipal dapat menuntut berdasarkan perjanjian dan, pada waktu yang bersamaan, apabila keberadaannya diketahui oleh pihak ketiga, maka pihak ketiga dapat memilih apakah akan melaksanakan perjanjian itu terhadap prinsipal atau terhadap agen. Pihak ketiga harus memilih terhadap siapa ia akan melaksanakan perjanjian; ia tidak dapat melaksanakan perjanjian terhadap keduanya.

2.    Franchising ( Hak Monopoli)

Franchise adalah sebagai suatu system pemasaran atau distribusi barang atau jasa, dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada individu atau perusahaan lain yang berslaka kecil dan menengah ( franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu system usaha tertentu degan cara yang sudah ditentukan, selama waktu tertentu, disuatu tempat tertentu.
British Franchise Association (BFA) mendefinisikan franchise adalah contractual licence yang diberikan oleh suatu pihak (franchisor) kepada pihak lain (franchisee) yang :
Ø Mengizikan franchisee yang menjalan usaha selama periode franchise berlangsung, suatu usaha tertentu menjadi milik franchisor.
Ø  Franchisor berhak untuk menjalankan control yang berlanjut selama periode franchise.
Ø  Mengharuskan franchisor untuk membeerikan bantuan pada franchisee dalam melaksanakan usahanya sesuai dengan subjek franchisenya (hubungan dengan membeerikan pelatihan, merchandising atau lainnya),
Ø  Mewajibkan franchisee untuk secara periodic selama periodic franchise berlangsung, membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas franchise atau produk atau jasa yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee.
Ø  Bukan merupakan transaksi antara perusahaan induk (holding company) dengan cabangnya atau antara cabang dengan perusahaan induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.

a.    Karakteristik Dasar Franchise
·         Harus ada suatu perjanjian (kontrak)  tertulis antara franchisor dengan franchisee yang berisikan kesepakatan antara kedua belah pihak.
·         Franchisor harus memberikan pelatihan kepada franchisee serta menjaga baik hubungan bisnis dalam berbagai aspek bisnis.
·         Franchisee diperbolehkan beroperasi menggunakan atribut franchisor (merk dagang, prosedur)
·         Franchisee berhak mengelola bisnisnya sendiri
·         Franchisee membayar fee atau royalty kepada franchisor atas hak yang didapatnya dan bantuan terus menerus yang diberikan franchisor.
·         Franchisee berhak memperoleh daerahnya pemasaran tertentu dimana franchisee tersebut adalah satu-satunya pihak yang memasarkan barang atau jasa yang dihasilkan.
·         Transaksi yang terjadi antara franchisor dan franchisee bukan merupakan transaksi yang terjadi antara cabang dari perusahaan induk yang sama.
·         Franchisee harus mengadakan investasi yang berasal dari sumber dananya sendiri atau dengan dukungan sumber dana lain. Pada tempat penjualan yang di kelola franchisee, tidak ada investasi dari franchisor. Yang lazimnya adalah pengadaan peralatan dengan fasititas leasing atau barang dagangan secara cicilan oleh franchisor, atau pengadaan gedung oleh franchisor yang disewakan kepada franchisor kedalam unit usaha yang dikelola franchisee.

b.    Keuntungan bisnis Franchise
·         Diberikannya latihan dan pengarahan dan pengawasan secara berlanjut oleh franchisor.
·         Diberikan bantuan financial dari franchisor kepada franchisee.
·         Diberikan keistimewaan untuk menggunakan atribut dari franchisor.
·         Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dari pihak franchisee dapat ditanggulangi dengan program-program pelatihan yang disediakan oleh pihak franchisor,
·         Karena pihak franchisee pada prinsipnya memiliki bisnisnya sendiri sebagai franchisee (yang hanya terikat kontrak dengan pihak franchisor), maka dia mempunyai insentif yang besar untuk berusaha sekuat tenaga untuk dapat memajukan bisnisnya itu di samping mendapat bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak franchisor.
·         Terdapat keuntungan bagi franshisee yang langsung dapat berbinis di bawah nama besar dan terkenal pihak franchisor,
·         Dibandingkan dengan apabila franshisee berbisnis secara biasa, maka dengan berbisnis secara franchise, pihak franchisee dapat menghemat cost dan permodalan diperlukan. Hal ini dikarenakan operasi percobaan yang telah dilakukan oleh pihak franchisor sudah menemukan sisteman yang efektid tapi paling irit biaya,
·         Keuntungan atas adanya iklan bersama secara meluas,
·         Keuntungan bagi franchisee dari adanya daya beli yang besar dan negosiasi yang dilakukan pihak franchisor atas nama seluruh jaringan franchisee,
·          Adanya akses bagi pihak franchisee untuk mendapatkan pengetahuan dan skill khusus dari pihak franchisor,
·         Risiko dalam bisnis franchise umumnya kecil dibandingkan dengan bisnis bisnis model lainnya,
·         Franchise mendapatkan hak untuk menggunakan merek dagang, paten, hak cipta, rahasia dagang, serta proses, formula dn resep rahasia milik franchisor
·         Franchisee memperoleh jasa-jasa dari staff lapangan pihak franchisor,
·         Franchisee mengambil mamfaat dari hasil riset yang dilakukan secara terus-menerus oleh franchisor, sehingga dapat memperkuat daya saing.
·         Informasi dan pengalaman dari seluruh jaraingan franchisee yang ada lewat franchisor dapat disebarkan ke seluruh jaringan yang ada.
·         Seringkali terdapat jaminan exclusivitas bagi franchisee untuk bergerak dalam usaha yang bersangkutan dalam sesuatu territorial tertentu.
·         Lebih mudah bagi franchisee utnuk memperoleh dana dari penyandang dana karena nama besar dan keberhasilan dari pihak franchisor.

c.    Kerugian bisnis Franchise
·         Program latihan yang diberikan oleh franchisor terkadang jauh dari yang diharapkan oleh franchisee.
·         Perincian setiap tentang penyelenggaraan perusahaan sering diabaikan.
·         Hanya sedikit kebebasan yang diberikan kepada franchisee oleh franchisor karena franchisee terikat pada kontrak yang telah disepakati.
·         Pada bisnis franchise jarang mempunyai hak untuk menjual perusahaan kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu menawarkannya kepada franchisor dengan harga yang sama.
·         Kontrol yang besar oleh pihak franchisor terhadap pihak franchisee menyebabkan pihak franchisee hilang kemandiriannya.
·         Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor;
·         Biasanya kontrak franchise berisikan juga pembatasan-pembatasan terhadap bisnis franchise dan riang gerak dari pihak franchisor.
·          Kebijakan-kebijakan pihak franchisor tidak selamanya berkenaan di hati pihak franchisee,
·         Franchisor bisa jadi membuat kesalahan dalam kebijakannya,
·         Turunnya reputasi dan citra dari merek bisnis franchisor karena alasan yang tidak terduga-duga sebelumnya.

3.    Pergabungan Perseroan Terbatas (Joint Venture)

Seorang ahli benama Friedman membedakan ada 2 macam joint venture yaitu :
Ø  Joint venture yang pertama adalah joint venture tidak melaksanakan penggabungan modal, sehingga kerja sama tersebut sebatas pada know-how yang dibaawa ke joint venture, penggabungan know-how biasanya merupakan babak pertama menuju kerja sama yang lebih permanen, yang pada saatnya beralih pada kerjasama berdasarkan penggabungan modal.
Ø  Jenis kedua adalah joint venture yang ditandai oleh partisipasi modal. untuk membedakan jenis pertama dengan jenis kedua, Friedman menggunakan istilah joint venture untuk yang pertama, dan equity joint venture untuk jenis kedua.
Sedangkan joint venture yang kita kenal sehari-hari adalah suatu perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan yang berdiri sendiri dengan menggabungakan potensi usaha termasuk know-how dan modal, dalam perbandingan yang telah ditetaplkan menurut perjanjian atau kontrak yang telah bersama-sama disetujui .

a.    Ciri-ciri bisnis Joint Venture
·         Beberapa perusahaan bersatu membentuk dan mendirikan perusahaan baru.
·         Adanya modal-modal yang digabungkan dari beberapa perusahaan untuk berdirinya perusahhan joint venture. Kekuasaan dalam joint venture sesuai dengan banyaknya saham yang ditanam oleh masing-masing perusahaan pendiri dan kesepakatan bersama.
·         Perusahaan-perusahaan pendiri joint venture memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing.
·         Khusus untuk Indonesia, joint venture merupakan kerjasama antara perusahaan domestic dan perusahaan asing (baik saham pemerintah atau modal swasta).

b.    Keuntungan bisnis Joint Venture
·         Untuk mengambil alih suatu perusahaan yang sedang berjalan untuk memperluas suatu pasaran.
·         Untuk memperoleh keuntungan-keuntungan dari pajak
·         Untuk mendapatkan sumber-sumber baru bagi barang-barang.
·         Memperoleh cadangan uang tunai.

c.    Kelemahan Joint Venture adalah sebagai berikut :
·         Jika salah dalam memilih sekutu maka akan meningkatkan resiko politik yang dihadapi.
·         Dapat terjadi perbedaan pandangan antara sekutu lokal dengan perusahaan.
·         Adanya harga transfer produk atau komponen akan menimbulakn konflik kepentingan antara kedua belah pihak

4.    Bangun Guna Serah (Build, Operate and Transfer = BOT)

Menurut Kementrian Keuangan Nomor:248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangun guna serah adalah suatu bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir.
Yang dimaksud dengan Bentuk Pola Bangun Guna Serah (Built, Operate and Transfer/BOT ) adalah pemanfaatan barang milik/kekayaan Negara/Daerah yang dilimpahkan pengelolaannya kepada Perum atau Perusahaan daerah berupa tanah oleh pihak lain, dengan cara pihak lain tersebut membangun bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya di atas tanah tersebut, serta mendayagunakan dalam jangka w aktu 20-30 tahun sesuai diatur didalam Keputusan Menteri Keuangan No. 470/KMK.01/1994 tanggal 20 September 1994, untuk kemudian menyerahkan kembali tanah, bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut beserta pendayagunaannya kepada Pemilik atau pihak pertama setelah berakhirnya jangka waktu yang disepakati.

a.    Kewajiban dan hak masing-masing pihak
1)    Pihak Pertama berkewajiban untuk:
·         Menyiapkan dan menyerahkan tanah sebagaimana dalam keadaan kosong dan bebas dari ikatan hukum dengan pihak lain kepada Pihak Kedua dengan suatu Berita Acara Penyerahan yang akan dilampirkan pada dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian ini.
·         Membantu kelancaran pengurusan dan penyelesaian Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah tersebut tercatat atas nama Pihak Kedua, serta membantu kelancaran pengurusan penyelesaian perizinan-perizinan dalam rangka pendirian sarana yang diperlukan antara lain, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), H.O., Surat Ijin Tempat Usaha (SITU), atas biaya Pihak Kedua.

2)    Pihak Kedua berkewajiban untuk:
·         Melaksanakan pembangunan Bangunan sebagaimana dimaksud sampai selesai dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun setelah keluarnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama Pihak Kedua di atas tanah sertifikat Hak Milik atas nama Pihak Pertama, sebagai masa kontruksi.
·         Membayar biaya pengadaan tanah.
·         Menyetorkan bagian keuntungan setiap tahun kepada Pihak Pertama.
·         Membayar kompensasi atas pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Pihak Kedua diatas Hak Milik atas nama Pihak Pertama.
·         Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Mengadakan renovasi Bangunan dan sarana penunjangnya sekurang-kurangnya tiap 5 (lima) than sekali.
·         Mengansuransikan bangunan tersebut pada Perusahaan Asuransi sejak pembangunan dimulai sampai dengan berakhirnya kerjasama.
·         Menyerahkan kembali Bangunan dan hak pengoperasian kepada Pihak Pertama setelah berakhirnya jangka waktu pengoperasian dalam keadaan baik dan dapat berfungsi secara maksimal.
·         Pihak Kedua berhak menjaminkan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama Pihak Kedua di atas Hak Milik atas nama Pihak Pertama pada Bank/Lembaga Keuangan lainnya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
·         Resiko finansial yang diakibatkan oleh transaksi antara Pihak Kedua dengan Bank/Lembaga Keuangan maupun pihak-pihak lain menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua.


b.    Pemutusan Perjanjian
Perjanjian dapat diputuskan apabila:
·          Kedua belah pihak sepakat untuk mengakhirinya dan dituangkan dalam persetujuan tertulis.
·         Pihak Kedua tidak dapat menyelesaikan pembangunan Bangunan.
·          Terjadi keadaan memaksa (force majeure) dan perjanjian ini disepakati untuk diakhiri.
·          Pemutusan Perjanjian ini dapat terjadi pada masa pembangunan Bangunan maupun pada masa pengoperasian Bangunan Supermarket.

c.    Penyerahan Kembali Bangunan dan Hak Pengoperasian
·         Dalam jangka waktu 6(enam) bulan sebelum Perjanjian berakhir. Kedua belah pihak harus melakukan penelitian dan evaluasi terhadap asset dan hutang-piutang yang berhubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini.
·         Dalam hal pelaksanaan Perjanjian ini berlangsung dengan lancar dan tertib dan jangka waktu pengoperasian berakhir, maka dalam waktu selambat-lambatnya 7(tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu kerjasama, Pihak Kedua wajib menyerahkan bangunan Supermarket kepada Pihak Pertama dengan suatu Berita Acara Penyerahan.
·         Berita Acara Penyerahan tersebut harus memuat secara terperinci keadaan tanah dan bangunan pada saat penyerahan kembali hak pengoperasian dari Pihak Kedua kepada Pihak Pertama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JUST IN TIME AND BACKFLUSING

Audit Plan